Pengawet makanan termasuk dalam kelompok zat tambahan makanan yang bersifat inert secara farmakologik (efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis). Pengawet penggunaannya sangat luas, hampir seluruh industri mempergunakannya termasuk industri farmasi, kosmetik, dan makanan. Di bidang kesehatan termasuk farmasi penggunaan pengawet dibatasi jenis dan jumlah penggunaannya. Karena Indonesia tertinggal dalam bidang penelitiannya maka diadopsilah peraturan yang ada di WHO. Khusus untuk pengawet makanan peraturannya sesuai dengan Permenkes RI No 722/ Menkes/Per/IX/88 (Anonim, 1988) Industri yang sudah memiliki ISO 9001 tentunya telah menerapkan manajemen produksi yang baik sehingga banyak yang sudah mengurangi jumlah penggunaan pengawet makanan atau tidak menggunakan pengawet makanan lagi (produk susu, teh dalam botol).
Seringkali ada salah pengertian mengenai pengawet makanan yang seolah-olah aman digunakan selama tidak menyebabkan keracunan atau kematian (toksisitas akut), tetapi sebenarnya menyebabkan kerusakan organ tubuh manusia dalam jangka panjang (toksisitas kronik) (Hardman J.G et all 1996). Bahaya ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut setiap hari dimakan, berbeda dengan obat-obat per oral yang digunakan hanya kalau sakit. Kebutuhan akan pengawet makanan pada industri kecil (rumah tangga) karena kebersihan tempat, alat produksi, dan proses produksi yang tidak memenuhi syarat. Sesuai dengan persaingan usaha yang terjadi tentunya semakin banyak produk yang dapat dibuat akan semakin murah harga produk tersebut sehingga dapat merebut pasar. Akibat hal ini maka diperlukanlah zat kimia untuk membantu kestabilan produk jika target penjualan tidak tercapai (produk tidak terjual dalam waktu tertentu) Jika zat kimia tersebut tidak termasuk dalam kelompok yang diijinkan penggunaannya sebagai pengawet makanan oleh pemerintah tentunya ada alasannya, yang terutama adalah bahaya toksisitas kronisnya akibat tidak inert secara farmakologik.
Daya beli masyarakat Indonesia rendah akibat krisis yang berlangsung sejak 1998, akibatnya masyarakat memerlukan kebutuhan makanan yang murah sesuai dengan daya jangkau keuangannya. Makanan yang murah itu adalah tahu, tempe, ikan, ikan asin. Produk makanan inilah yang dimakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dari tingkat ekonomi atas sampai dengan rendah. Jika produk ini tercemar maka akan sangat merugikan rencana pembangunan Indonesia dan akan merusak kemampuan bersaing generasi mendatang menghadapi globalisasi.
Kerugian yang muncul bukan hanya itu tetapi juga kepercayaan terhadap makanan terkontaminasi itu akan hilang sehingga akan masuklah produk lain dari luar negeri sebagai penggantinya, hal ini tentunya tidak diinginkan.
Senyawa kimia yang saat ini banyak terdapat pada tahu, ikan, ikan asin, dan mie basah adalah formalin (larutan formaldehid 37% dalam 10-15% metanol dan air). Formalin in mempunyai BM = 30 dengan RM CH2O (2). Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh(Anonim, The Complete Drug References, 2005. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Anonim, The Merck Index 12 th 1996 ). Enzim, hormon, atau reseptor adalah protein tertier/kwaterner yang jika bereaksi dengan karbonil dari formaldehid dapat menyebabkan hilangnya sifat spesifiknya. Metabolit yang terdapat pada RNA dan DNA pun akan dapat berikatan dengan gugus karbonil formaldehid yang mengakibatkan cacatnya gen akibat jangka panjangnya adalah terjadinya kanker (Anonim 2005, WHO 2006) Efek formalin pada produk makanan yang mengandung protein seperti tahu, baso, ikan, ikan asin, dan mie sudah dapat dilihat yaitu berubahnya konsistensi menjadi keras atau kenyal pada produknya, tentunya hal ini akan terjadi juga jika formalin bebas masuk ke organ tubuh dan bereaksi dengan protein tubuh, maka membran sel, tulang rawan akan mengeras; enzim, dan hormon akan berubah atau tidak berfungsi. Sifat permeabelitas dari sel akan hilang, akibatnya proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi tubuh akan terganggu.
Tentunya masyarakat farmasi khususnya dan bangsa Indonesia umumnya harus segera mencari jalan keluar jika tidak ingin hal ini berlangsung terus. Pemerintah melalui Depkes, Badan POM, Deperin, Deperdag, dan Dinas Kesehatan beserta jajarannya tentunya sudah mengetahui kasus ini dan sedang memikirkan cara penanggulangannya, masalah ini akan cepat teratasi jika semua pihak yang berkepentingan merasa bertanggung jawab terhadap mutu generasi mendatang. Pemerintah harus segera memberi bimbingan, penyuluhan, bantuan yang memadai untuk sanitasi produksi dan lingkungan,serta manajemen produksi sehingga dapat terbukti bahwa dengan mematuhi/mengerti cara tersebut ternyata pengawet makanan tidak diperlukan lagi.
Seringkali ada salah pengertian mengenai pengawet makanan yang seolah-olah aman digunakan selama tidak menyebabkan keracunan atau kematian (toksisitas akut), tetapi sebenarnya menyebabkan kerusakan organ tubuh manusia dalam jangka panjang (toksisitas kronik) (Hardman J.G et all 1996). Bahaya ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut setiap hari dimakan, berbeda dengan obat-obat per oral yang digunakan hanya kalau sakit. Kebutuhan akan pengawet makanan pada industri kecil (rumah tangga) karena kebersihan tempat, alat produksi, dan proses produksi yang tidak memenuhi syarat. Sesuai dengan persaingan usaha yang terjadi tentunya semakin banyak produk yang dapat dibuat akan semakin murah harga produk tersebut sehingga dapat merebut pasar. Akibat hal ini maka diperlukanlah zat kimia untuk membantu kestabilan produk jika target penjualan tidak tercapai (produk tidak terjual dalam waktu tertentu) Jika zat kimia tersebut tidak termasuk dalam kelompok yang diijinkan penggunaannya sebagai pengawet makanan oleh pemerintah tentunya ada alasannya, yang terutama adalah bahaya toksisitas kronisnya akibat tidak inert secara farmakologik.
Daya beli masyarakat Indonesia rendah akibat krisis yang berlangsung sejak 1998, akibatnya masyarakat memerlukan kebutuhan makanan yang murah sesuai dengan daya jangkau keuangannya. Makanan yang murah itu adalah tahu, tempe, ikan, ikan asin. Produk makanan inilah yang dimakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dari tingkat ekonomi atas sampai dengan rendah. Jika produk ini tercemar maka akan sangat merugikan rencana pembangunan Indonesia dan akan merusak kemampuan bersaing generasi mendatang menghadapi globalisasi.
Kerugian yang muncul bukan hanya itu tetapi juga kepercayaan terhadap makanan terkontaminasi itu akan hilang sehingga akan masuklah produk lain dari luar negeri sebagai penggantinya, hal ini tentunya tidak diinginkan.
Senyawa kimia yang saat ini banyak terdapat pada tahu, ikan, ikan asin, dan mie basah adalah formalin (larutan formaldehid 37% dalam 10-15% metanol dan air). Formalin in mempunyai BM = 30 dengan RM CH2O (2). Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh(Anonim, The Complete Drug References, 2005. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Anonim, The Merck Index 12 th 1996 ). Enzim, hormon, atau reseptor adalah protein tertier/kwaterner yang jika bereaksi dengan karbonil dari formaldehid dapat menyebabkan hilangnya sifat spesifiknya. Metabolit yang terdapat pada RNA dan DNA pun akan dapat berikatan dengan gugus karbonil formaldehid yang mengakibatkan cacatnya gen akibat jangka panjangnya adalah terjadinya kanker (Anonim 2005, WHO 2006) Efek formalin pada produk makanan yang mengandung protein seperti tahu, baso, ikan, ikan asin, dan mie sudah dapat dilihat yaitu berubahnya konsistensi menjadi keras atau kenyal pada produknya, tentunya hal ini akan terjadi juga jika formalin bebas masuk ke organ tubuh dan bereaksi dengan protein tubuh, maka membran sel, tulang rawan akan mengeras; enzim, dan hormon akan berubah atau tidak berfungsi. Sifat permeabelitas dari sel akan hilang, akibatnya proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi tubuh akan terganggu.
Tentunya masyarakat farmasi khususnya dan bangsa Indonesia umumnya harus segera mencari jalan keluar jika tidak ingin hal ini berlangsung terus. Pemerintah melalui Depkes, Badan POM, Deperin, Deperdag, dan Dinas Kesehatan beserta jajarannya tentunya sudah mengetahui kasus ini dan sedang memikirkan cara penanggulangannya, masalah ini akan cepat teratasi jika semua pihak yang berkepentingan merasa bertanggung jawab terhadap mutu generasi mendatang. Pemerintah harus segera memberi bimbingan, penyuluhan, bantuan yang memadai untuk sanitasi produksi dan lingkungan,serta manajemen produksi sehingga dapat terbukti bahwa dengan mematuhi/mengerti cara tersebut ternyata pengawet makanan tidak diperlukan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar