Di tengah sulitnya kondisi perekonomian, manajemen sebuah perusahaan mungkin akan tergoda untuk mengesampingkan masalah keberlanjutan (sustainability). Semua upaya difokuskan agar perusahaan dapat bertahan hidup dalam kondisi pasar dimana permintaan menurun dan biaya keuangan semakin tinggi.
Akan tetapi, justru di saat sulit seperti inilah perusahaan membutuhkan pemikiran yang kreatif dan non-konvensional. Hal ini berarti mencari cara yang belum terpikirkan sebelumnya untuk mengurangi biaya serta memperoleh posisi di pasar yang dapat membedakan perusahaan dari para pesaingnya.
Oleh karena itu, sustainability sebuah perusahaan ‘tidak hanya’ terbatas pada memperhatikan dampak dari operasi perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat. Sustainability adalah sebuah pendekatan terpadu terhadap kinerja perusahaan di bidang lingkungan, sosial dan ekonomi karena ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain. Berfokus pada salah satu aspek saja tanpa menghiraukan aspek-aspek lainnya sama seperti mengemudi dengan hanya melihat jalan tanpa menghiraukan rambu-rambu jalannya.
Perilaku lama memang sulit diubah, dan agar perusahaan dapat memperluas pandangan mereka akan lingkungan bisnis mereka, kita perlu membuang lima mitos lama mengenai sustainability.
Mitos 1: Sustainability berkaitan dengan masa depan, bisnis berkaitan dengan masa kini
Sustainability harus menjadi bagian integral dari perencanaan jangka pendek dan perancangan strategi jangka panjang sebuah perusahaan. Krisis ekonomi global telah membuat masyarakat menjadi lebih curiga terhadap perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang mengabaikan norma-norma sosial akan kehilangan niat baik dari para konsumen, pekerja dan pihak regulator. Dalam sebuah artikel yang baru-baru ini diterbitkan oleh The Economist, secara mengejutkan diungkapkan bahwa krisis yang terjadi baru-baru ini telah membuat konsumen lebih kritis tentang standar-standar sustainability yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk-produk yang mereka beli.
Salah satu contoh dramatis dari perusahaan yang mengabaikan sinyal-sinyal pentingnya masalah sustainability ini adalah tiga manufaktur mobil besar di Amerika. Perusahaan-perusahaan ini merancang mobil berdasarkan asumsi bahwa ada sejumlah besar cadangan minyak bumi dan bahan-bahan mentah yang tersedia dan dapat digunakan. Mereka kehilangan daya saing mereka saat harga bahan bakar melambung tinggi di tahun 2005, sebuah refleksi dari semakin menipisnya cadangan sumber daya alam dunia. Saat krisis terjadi, dalam jangka waktu yang singkat konsumen memilih mobil-mobil yang lebih irit bahan bakar. Para perusahaan manufaktur mobil di Amerika tidak memiliki cukup waktu untuk merespon tren ini dengan rancangan-rancangan mobil yang baru. Perusahaan-perusahaan ini sekarang berada di ambang kebangkrutan, bukan karena krisis ekonomi yang terjadi, melainkan karena mereka gagal menangani masalah sustainability beberapa tahun sebelumnya.
Mitos 2: Upaya untuk Lingkungan dan Masyarakat hanya Membuang-buang Uang Saja
Mengurangi sampah seringkali berarti mengurangi materi juga. Tentunya hal ini membutuhkan pemikiran dan perencanaan tapi pada akhirnya perusahaan dapat mengurangi input materi mereka.
Contoh-contoh yang paling mengesankan tentunya dapat ditemukan di perusahaan-perusahaan besar, seperti misalnya program Sky Eco 2010 Japan Air Lines (JAL). Salah satu fokus dari program ini adalah peningkatan efisiensi bahan bakar dari armada JAL. Melalui berbagai upaya seperti peremajaan armada dengan pesawat-pesawat baru yang lebih irit bahan bakar, penggunaan perangkat makan dan wadah kargo yang lebih ringan, pengurangan air dalam pesawat, dan pengukuran jumlah bahan bakar yang perlu dimuat dalam pesawat secara lebih akurat, serta pengurangan penggunaan cat di badan pesawat, Grup JAL memperkirakan telah berhasil mengurangi emisi CO2 nya sebesar 76 ton per tahun di seluruh JAL Group .
Penjualan hak emisi gas rumah kaca juga dapat memberikan tambahan pendapatan yang substansial bagi proyek-proyek penghematan energi atau pengembangan energi bersih. Di tahun 2008, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Menjadi perusahaan pertama di Asia Tenggara yang menerima Sertifikat Penurunan Emisi (CER) dari program pertukaran karbon yang disponsori oleh PBB. Indocement memiliki dua buah proyek CDM yakni Proyatek Semen Campuran (blended cement project) untuk menghasilkan Portland Composite Cement (PCC) dan Proyek Bahan Bakar Alternatif. Kedua proyek ini diharapkan dapat mengurani emisi karbon sebesar 6-7 juta ton CER antara 1 Januari 2005 – 2012. Di bulan Juni 2008, Indocement menerima pembayaran pertama dari Bank Dunia senilai US$ 40.303 setelah dipotong biaya untuk persiapan proyek. Pendapatan tambahan dari penjualan emisi gas rumah kaca bisa bernilai ratusan ribu dolar per tahunnya.
Mitos 3: Sustainability cuma untuk perusahaan besar saja, bukan untuk perusahaan kecil
Sustainability dapat diterapkan oleh perusahaan besar maupun kecil, bahkan dapat diterapkan oleh individu. Kantor yang kecil pun menghasilkan lembih, dan mereka menggunakan kertas, listrik dan air. Dengan cara-cara yang relatif sederhana, mereka dapat secara substansial mengurangi penggunaan kertas, listrik dan air. Pencarian sederhana melalui Google tentang ‘pengurangan limbah kantor’ dapat menghasilkan banyak sekali dokumen dengan checklist dan tips yang dapat digunakan oleh kantor-kantor. Kita dapat memulai dengan hal-hal yang sangat sederhana, seperti melakukan setup pada komputer agar dapat mencetak bolak-balik. Selain itu, penggunaan listrik dan air pun dapat dikurangi dengan mengkampanyekan perubahan perilaku. Hal yang penting untuk menjamin kesuksesan kampanye semacam ini adalah pernyataan dari manajemen tingkat atas akan pentingnya perubahan perilaku tersebut dan pemberian contoh yang benar lewat perilakunya sendiri. Kedua, salah satu manajer di kantor harus ditunjuk sebagai ‘manajer sustainability’ dan bertanggung jawab untuk merencanakan serta memonitor tindakan-tindakan untuk mengurangi pemborosan dan menghemat biaya. Kemunduran ekonomi yang diprediksi akan terjadi tahun ini, menciptakan kesempatan bagi kita untuk melakukan hal ini. Daripda mengurangi jam kerja dan gaji, apalagi memberhentikan pegawai, kita dapat menugaskan sejumlah orang untuk menjalankan program pengurangan sampah dan penghematan biaya.
Proses berpikir ini juga membawa manfaat lain yang lebih penting daripada sekedar penghematan biaya. Berpikir mengenai memperbaiki kinerja sustainability di bidang lingkungan hidup dan sosial masyarakat menstimulasi suatu aspek yang krusial bagi kelangsungan hidup jangka panjang sebuah perusahaan, yakni inovasi.
Satu contoh adalah upaya yang dilakukan oleh PT Intaran Indonesia, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Yayasan Membina Api Cinta Kasih (YMACK), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Denpasar, Bali, Indonesia. Perusahaan ini menanam dan membudidayakan pohon Neem serta mengembangkan pupuk dan pestisida organik dari pohon Neem secara komersil dan berkelanjutan, bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat di Bali, Lombok dan Sumbawa. Produk-produk PT Intaran sekarang dijual ke pasar-pasar di dalam dan luar negeri. Untuk pasar di luar negeri, produk-produk mereka umumnya dijual ke Jepang, Belanda dan Australia. Sementara di dalam negeri, produk-produk mereka banyak digemari oleh ekspatriat dan turis luar negeri yang menyukai produk-produk organik, sejumlah hotel di Bali dan Jakarta dan komunitas pertanian organik di Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta. Dengan sumber daya alamnya yang kaya, Indonesia sendiri masih memiliki banyak peluang lain untuk mengembangkan produk-produk semacam ini.
Mitos 4: Sustainability adalah milik negara maju, negara berkembang tidak mampu melakukannya
Negara-negara berkembang bekerja keras untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi para penduduk mereka. Mereka berpikir bahwa masyarakat tidak peduli dengan hal-hal lain di luar pekerjaan dan makanan. Mereka juga berdalih bahwa negara-negara industri telah menciptakan dampak lingkungan yang lebih besar dan negara-negara tersebut tidak boleh menghalangi negara-negara yang belum maju untuk berkembang dengan dampak yang sama terhadap lingkungan.
Seringkali, pendekatan ini kurang memanfaatkan teknologi serta kemampuan sumber daya manusia yang sudah ada untuk menciptakan perusahaan yang dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan serta di saat yang sama menggnakan sumber daya alam secara efisien. Setelah mitos bahwa sustainability hanya membuang-buang uang dan tidak menghasilkan uang kita patahkan, jelas bahwa sustainability dapat dilakukan baik oleh negara maju maupun negara berkembang.
Atau, dengan kata lain, negara-negara berkembang harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk membiayai pelayanan kesehatan dan pemukiman jika mereka tidak mengatasi ancaman-ancaman lingkungan hidup seperti polusi, banjir dan tanah longsor. Sejumlah besar dana juga tersedia dari lembaga-lembaga donor internasional untuk membantuk mencari dan mengimplementasikan solusi yang terbaik bagi masalah-masalah tersebut.
Mitos 5: Pelanggan tidak peduli soal sustainability, mereka hanya mencari harga termurah
Sepertinya sulit untuk membayangkan, khususnya saat kondisi perekonomian sulit, tapi konsumen mulai berubah. Mereka merasa lebih bertanggung jawab atas peranan mereka dalam meningkatkan kondisi lingkungan hidup dan sosial masyakarat di seluruh dunia. Perusahaan-perusahaan yang mengekspor barang-barangnya ke Eropa, Jepang dan Amerika Utara khususnya harus memperhitungkan aspek perilaku konsumen semacam ini.
Sebuah studi yang dilakukan oleh National Geographic dan perusahaan polling internasional GlobeScan baru-baru ini mengenai pola konsumsi berkelanjutan di 14 negara (www.nationalgeographic.com/greendex) mengungkapkan bahwa sebagian besar negara lebih memilih konsumsi yang berkelanjutan dibandingkan dengan harga termurah. Yang mungkin lebih mengejutkan adalah konsumen di negara-negara berkembang cenderung untuk lebih menghargai sustainability ketimbang konsumen di negara-negara maju. Sebuah penelitian yang dilakukan di tahun 2006 oleh Divisi Penelitian Manajemen Lembaga Manajemen PPM di Indonesia menemukan bahwa walau konsumen menganggap kualitas/merk suatu produk sebagai faktor yang paling penting, konsumen mengganggap tanggung jawab sosial perusahaan sebagai faktor terpenting kedua.
Selain itu, kita melihat semakin banyak perusahaan-perusahaan yang memimpin inisiatif di bidang pembangunan berkelanjutan. Dewasa ini semakin banyak pembeli, khususnya dari pasar-pasar utama seperti di Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang menuntut adanya verifikasi hutan berkelanjutan atau pembalakan legal oleh pihak ketiga. Dutch Home Cooperatives (yang memiliki sejumlah besar rumah di Belanda) misalnya menandatangani komitmen untuk membangun 100,000 rumah dengan hanya menggunakan kayu yang disertifikasi oleh FSC.
Perusahaan seharusnya tidak melihat sustainability sebagai suatu ancaman ataupun beban. Sustainability merupakan sebuah perkembangan yang terus berlanjut yang menawarkan ide-ide dan peluang baru kepada perusahaan untuk merangsang inovasi, meningkatkan hubungan dengan masyarakat setempat, meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta membedakan perusahaan tersebut dengan para pesaingnya di pasar yang sangat ketat persaingan. Jika ditangani dengan benar, sustainability dapat menjadi sebuah berkah yang tersamarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar