Jumat, 27 April 2012

Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) di Indonesia

Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) di Indonesia. Di Indonesia, kebijakan soal sampah dalam skala nasional sebenarnya sudah mulai dirintis sejak 2008 silam. Kementerian Lingkungan Hdup (KLH) pernah mengeluarkan peraturan yang mendorong industri untuk turut serta menangani sampah dari produk yang mereka produksi. Peraturan ini tertuang dalam tiga isu utama. Pertama, tentang penanganan sampah. Kedua, tentang pengurangan sampah. Ketiga, tentang pengelolaan sampah khusus.

Terkait penanganan sampah oleh produsen, dalam Pasal 14 dan 15 UU 18 Tahun 2008 secara tegas mengamanatkan peran dan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah. Kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi Pemerintah untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah, karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkan, adalah salah satu sumber penghasil sampah.
  • Pasal 14: Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya.
  • Pasal 15: Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 adalah landasan hukum diwajibkannya (mandatory basis) penerapan extended producer responsibility (EPR) untuk produk atau kemasan yang akan lebih lanjut. Kendaraan bermotor, peralatan listrik dan barang elektronik serta kemasan produk tertentu adalah contoh lazim dalam penerapan EPR di negara maju. Dari sisi praktis, penerapan EPR akan berbeda di tiap negara, namun terdapat beberapa prinsip dasar yang harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengembangan strategi penerapan EPR.

Dalam undang-undang ini terlihat bahwa pemerintah telah menegaskan bahwa pengelolaan sampah tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja. Pelaku usaha, sebagai penghasil sampah memiliki tanggung jawab dalam mengelola sampah. implementasinya, konsumen dapat me-reimburse atau meminta pembayaran kembali dari pengeluaran dana awal untuk pembelian suatu produk yang menyisakan barang tidak bermanfaat seperti sampah plastik. Namun, sampai sekarang tidak terlihat persiapan perangkat untuk implementasinya.
Meski demikian, hingga saat ini kondisi pengelolaan sampah di Indonesia masih belum memenuhi harapan. Adanya masalah dalam penampungan sampah, kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah sejak dari sumbernya, dan kelemahan pemerintah dalam mengelola dan mengawasi terutama mengawasi para produsen produk-produk yang sulit terurai oleh alam, sehingga tidak dapat dipungkiri telah membuat negara ini penuh dengan sampah. Untuk itu, perlu adanya evaluasi dan langkah-langkah perbaikan dalam menerapkan Undang-Undang ini.

Akan tetapi pemerintah tampak masih kurang serius dalam menjalankan amanat UU ini. Secara teknis, masih ditemukan banyak kekurangan, misalnya saja kondisi fasilitas pengelolaan sampah, metode pengumpulan yang masih menerapkan sistem open dumping, serta lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap sampah dari tempat-tempat produksi yang ada di wilayahnya. Begitu pula dengan masyarakat yang belum memiliki kesadaran untuk tertib dalam membuang dan mengelola sampah.

Pemerintah juga pernah menyiapkan beberapa skema pelaksanaan EPR bagi perusahaan atau industri. Umpamanya melalui pemberian insentif berupa uang serta pemotongan pajak. Bagi perusahaan pelanggar peraturan EPR, Pemerintah mungkin tak akan menjatuhjan sanksi financial ataupun sanksi adminsitratif. Yang paling mungkin adalah sanksi sosial dan sanksi moral. Misalnya dengan mengumumkan di media massa nama-nama perusahaan pelanggar peraturan tentang EPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar